Rabu, 12 Februari 2014

Lagu Anak-anak Bukan Lagu Cinta-cintaan



            Tiba-tiba saya merindu akan lagu anak-anak jaman dulu. Sebut saja Cikita Meidy, Trio Kwek-kwek, Tina Toon, Eno Lerian, Joshua, Dhea dan Agnes Monica. Sederet artis cilik pada jamannya tersebut adalah favorit saat saya masih lucu-lucunya dulu. Setiap sore selalu stand by di depan TV sambil menunggu acara musik “Ci Luk Ba” yang senantiasa menemani anak-anak dengan lagu-lagu edukatifnya.
Wah, lagi-lagi saya merasa beruntung lahir pada saat itu. Masih sempat mendengarkan lagu anak-anak yang mendidik, bertemakan religi, sosial, dan edukasi. Semua lagu-lagu mereka dikemas dengan musik yang relevan untuk anak-anak. Sehingga “aman” untuk dikonsumsi. Hehe!
Misalnya, lagu yang dinyanyikan Cikita Meidy yang bertajuk “Ibu Pertiwi”. Dalam lagu tersebut diceritakan kondisi Indonesia yang tidak sedang dalam kondisi baik. Disisipkan pula sajak doa untuk Indonesia supaya selalu dalam lindungan tuhan. Apa yang harus diperbuat generasi muda untuk kemajuan Indonesia, menjaga harta kekayaan Indonesia, dan lain sebagainya. Ada juga, “Surga Di Telapak Kaki Ibu” yang dibawakan Dhea. Nasihat-nasihat untuk selalu mematuhi dan menyayangi seorang Ibu. Mengingat pengorbanan seorang Ibu yang tanpa pamrih merawat dan menyayangi anak-anaknya. That’s awesome!
Keren lagi, jam tayang lagu-lagu tersebut di televisi yang cukup intens, bahkan sampai ada acara khusus untuk pemutaran video klip mereka. Diantaranya Tralala Trilili, Kring Kring Olala, dan Ci Luk Ba. Sambutan positif media televisi untuk mengedukasi anak-anak pada jaman itu dengan menayangkan acara musik anak yang bersifat edukatif. Jempol!!!
Namun, fenomena tersebut tidak berlaku untuk hari ini. Kontradiktif. Seolah turut mengikuti permintaan pasar. Lagu anak-anak pun makin surut. Mungkin hanya segelintir stasiun TV yang kadang menayangkannya dengan artis cilik baru, itu pun TV lokal. Satsiun TV yang memiliki daya jangkau nasional sudah beralih ke artis cilik dengan lagu-lagu bernuansa cinta yang notabene untuk dewasa. Sebut saja Cowboy Junior. Jelas, harga jual mereka lebih mahal bagi perusahaan TV, sehingga jam terbang mereka di layar kaca makin melejit. Ironis.
Padahal, kalau dilihat ke belakang. Lagu anak-anak jaman dulu terbilang edukatif bagi konsumen cilik. Baik dari lirik dan kemasannya. Sialnya, kalau sekarang mau tidak mau, setuju tidak setuju, anak-anak disuguhkan dengan lagu-lagu cinta khas generasi prematur. Walaupun dampaknya tidak begitu besar, toh kita sebagai insan dewasa yang “katanya” peduli masa depan generasi muda juga perlu mempertimbangkan hal ini. Kalau kata saya, “Kembalikan kejayaan lagu anak-anak jaman dulu. At least lagu-lagu yang mendidik dan relevan lah.

Senin, 10 Februari 2014

MP

Kami ada di bulan kedua tahun 2010. Saat itu kami belum mengenal satu sama lain secara mendalam. Hanya sebatas kulit luar yang terlihat. Tak banyak yang kami tahu soal saya, kamu, dia atau kita. Dan, di sinilah cerita kami berawal. Cerita rumit kami berlima selama masa percobaan menjadi satu.
Sebenarnya tidak berbeda dengan mereka kebanyakan. Apa yang kami lakukan sebatas kewajaran yang dilakukan remaja saat itu. Menjalani setiap adegan yang kami ciptakan sendiri. Mempelajari pengalaman yang kami lalui setelahnya. Mungkin bisa dikatakan begitu.
Lantas, apa perbedaan yang ada pada diri kami? – terdiam beberapa saat. Hampir dari kami semua memiliki karakter yang sama. Dari informasi yang saya dapatkan, kami memiliki sisi plegmatis. Entah dari sisi mana, yang jelas itu penilaian saya terhadap kami. Bagaimana bisa?
Perlahan waktu terus merangkak maju. Memutar setiap masa yang dimilikinya. Saat itulah kami mulai mengenal kami. Adegan per adegan coba kami jalani, kejadian per kejadian coba kami lalui. Kami semua mulai menunjukkan kepribadian kami masing-masing dalam mengatasi masalah yang ada, kecuali satu dari kami. Dia – sebut saja begitu – koleris. Masalah yang datang dan pergi tak lantas kami cepat selesaikan, karena kami sedikit malas untuk menghadapinya. Kami seperti tak menemukan titik terang akan masalah kami sendiri. Desakan si koleris membuat kami makin malas menyentuhnya. Berkali-kali kami mengalami dan melakukan hal yang sama. hanya diam, menunggu jawaban, dan ujung-ujungnya yang keluar hanyalah “terserah”. Tidak dengan si koleris, dia cenderung mendesak dan mencoba menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Dia tak bisa dikritik, dia tak bisa disalahkan. Beginilah kami. Masing-masing dari kami – mungkin – menyadari kekeliruan kami, namun kami tak bisa berbuat lebih. Entah apa sebabnya. Mungkin karena ketidakcocokan yang menimbulkan ketidaknyamanan. Seolah kami menikmati tiap episode cerita kami.
***
Kami berbeda saat di hadapan puluhan penonton. Terlihat rame, kocak, kompak dan menyenangkan. Seolah kami sedang dalam keadaan baik. Mungkin ini termasuk hal baik yang ada pada diri kami – tapi lihatlah ke belakang. Kami menyenangkan saat “lupa” akan masalah, namun membingungkan saat tidak dalam kondisi baik. Keaslian kami mulai muncul. Lagi, lagi dan lagi. Sama seperti sebelum-sebelumnya.
Hingga pada akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti dan kembali ke “dunia” kami masing-masing. Tidak dalam kondisi baik. Namun, beginilah adanya.
***
Saat ini – 9 Februari 2014 – kami menyepakati untuk memulai kembali cerita kami, tanpa si koleris. Reborn! Tapi, entah bagaimana kelanjutannya. Semoga lebih baik. Amin.

Jumat, 07 Februari 2014

Let's Play!



Di jaman seperti ini, mungkin saya termasuk orang yang beruntung. Kenapa demikian? Yup, bukan lain adalah saya sempat ikut menikmati permainan tradisional pada jamannya. Beberapa dari kita mungkin pernah memainkan – at least pernah mendengar – yang namanya petak umpet, bentengan, umbulan, gobak sodor (go back to door), boy-boy-an, engklek, dakon, sri gendem, dan lain sebagainya (nama-nama permainan tersebut adalah permainan yang pernah ada di daerah saya. Sebenarnya masih banyak jenis permainan tradisional yang lainnya, termasuk di daerah anda). Merekalah yang selalu menemani kehidupan masa kanak-kanak saya, yakni pada tahun 90-an. Teman-teman sebaya saya pun patut dan harus bersyukur sempat merasakan “perjuangan” permainan tradisional menarik minat anak-anak saat itu.
Namun, kondisinya berbeda dengan sekarang. Jaman sudah berubah, teknologi makin maju. Sialnya, apa-apa bisa dilakukan secara praktis. Membuat permainan tradisional menjadi kurang diminati dan lambat laun hanya tinggal nama. Mungkin, anak-anak jaman sekarang lebih tertarik  pada hal-hal yang berbau canggih dan modern, semua serba praktis dan memudahkan. Jatuh-jatuhnya lebih individual dan anti sosial. Sangat disayangkan.
Padahal keren lho kalau permainan tradisional bisa kembali ke kehidupan kita. Setiap permainan yang dimainkan memiliki nilai-nilai tersendiri. Seperti bentengan. Dalam permainan ini dituntut adanya kerja sama tim, ketangkasan dan kecepatan. Begitu juga dengan petak umpet. Setiap orang perlu cepat dan tangkas dalam memainkannya. Kepekaan terhadap keberadaan lawan main menjadi yang utama dalam permainan ini. Ada lagi, pernah mendengar permainan Gobak sodor (go back to door)? Permainan yang penuh strategi dan trik dalam mengecoh lawan main. Kerja sama tim juga sangat diperlukan dalam permainan ini. Tim yang paling pandai mengatur siasat, dia lah yang menang.
Pada intinya, walaupun dianggap jadul, namun permainan-permainan semacam ini sangat menyenangkan. Di samping memiliki nilai sosial yang tinggi, juga mampu menciptakan kepuasan tersendiri, yakni perasaan senang. Masa kecil sangatlah penting untuk belajar bersosialisasi dengan masyarakat. Menumbuhkan kepekaan terhadap orang lain serta mengasah jiwa sosial terhadap masyarakat – saya harap kita masih ingat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). So, let’s play (again)!